Kebudayaan Jawa
Adapun  budaya Jawa  mempunyai beberapa ciri yang salah satunya adalah menjunjung tinggi nilai harmoni :
Kebudayaan Jawa mengutamakan keseimbangan, 
keselarasan, dan keserasian. Semua unsur kehidupan harus harmonis, 
saling berdampingan, intinya semua harus sesuai. Segala sesuatu yang 
menimbulkan ketidakcocokan harus dihindari, kalau ada hal yang dapat 
mengganggu keharmonisan harus cepat dibicarakan untuk dibetulkan agar 
dapat kembali harmonis dan cocok lagi.
Biasanya yang menganggu keharmonisan adalah  perilaku
 manusia, baik  itu perilaku manusia dengan manusia atau perilaku 
manusia dengan alam. Kalau menyangkut perilaku manusia dengan alam yang 
membetulkan ketidakharmonisan adalah pemimpin atau menjadi tanggungjawab
 pimpinan masyarakat. Yang sulit apabila keseimbangan itu diganggu oleh 
perilaku manusia dengan manusia sehingga menimbulkan konflik. 
Ketidakcocokan atau rasa tidak suka adalah hal yang umum, namun untuk 
menghindari konflik, umumnya rasa tidak cocok itu dipendam saja 
(Wikipedia bahasa Jawa).  
Upaya menjaga harmonisasi ini rupanya yang  membuat 
kebanyakan orang Jawa tidak suka konflik secara terbuka. Ciri ini -kalau
 memakai bahasa gaul- “gue banget”. Sepertinya tidak sampai hati (ora tekan)
 kalau ada rasa tidak puas, tidak cocok terus diteriakkan lugas ke 
orangnya apalagi kalau di depan orang banyak atau forum. Untuk 
menyelesaikan konflik rasanya lebih sreg kalau dibicarakan secara
 pribadi dulu ketimbang langsung dibuka di forum dan diketahui orang 
banyak. Namun cara ini ada kelemahannya, karena tidak mau berbicara 
terbuka, orang Jawa menjadi lebih suka kasak kusuk atau menggerudel di 
belakang . Akibatnya, bukan mencoba mengembalikan keseimbangan atau 
harmonisasi malah justru memelihara ketidakharmonisan. Falsafah menjaga 
harmoni ini juga terlihat dari gerak tari tradisional Jawa terutama yang
 merupakan karya para raja Solo dan Yogya : halus, hati-hati, luwes, 
penuh perhitungan, ekspresi gerak dan wajah penarinya begitu terjaga , 
anggun dan agung, hampir tidak ada ekspresi spontan dan meledak-ledak. 
Bahkan konon untuk menarikan tarian ini penarinya harus menjalani ritual
 atau laku batin tertentu seperti puasa atau pantang. 
Ciri
 atau identitas lainnya dari budaya Jawa adalah keyakinan Kejawen. 
Kejawen (Wikipedia) adalah kepercayaan yang hidup di suku Jawa. Kejawen 
pada dasarnya bersumber dari kepercayaan Animisme yang dipengaruhi 
ajaran Hindu dan Budha. Karena itulah suku Jawa umumnya dianggap sebagai
 suku yang mempunyai kemampuan menjalani sinkretisme kepercayaan, semua 
budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa. 
Kepercayaan
 Kejawen yang merupakan sinkretisme antara animisme dengan ajaran Hindu 
dan Budha menggambarkan bahwa orang Jawa pada dasarnya bersifat 
pluralis, terbuka, mudah menerima pengaruh budaya luar dan pandai 
menyesuaikannya dengan budaya sendiri dan bahkan mengolahnya menjadi 
bentuk budaya baru yang tidak kalah bahkan lebih bagus dari budaya 
aslinya. Contohnya seni tari dan wayang yang berkembang di Jawa  dan 
Bali bersumber dari kisah Mahabarata dan Ramayana , namun jauh lebih 
indah dari Negara asalnya India.
Berbicara
 tentang budaya  Jawa, khususnya Surakarta dan Yogyakarta, tidak bisa 
dilepaskan dari Kraton sebagai pusat budaya Jawa. Karya seni Jawa baik 
sastra, gamelan, tari dan wayang adalah bentuk ekspresi budaya yang 
dikembangkan oleh raja-raja dan seniman atau pujangga Kraton Solo dan 
Yogya. Pada mulanya karya seni itu merupakan klangenan (hiburan) yang 
terbatas dinikmati kalangan kraton. Dalam perkembangannya, karya seni 
ini kemudian dipentaskan sebagai produksi seni pertunjukan bagi rakyat 
biasa.  
Di
 Surakarta, Sunan Paku Buwono X membuka Taman Hiburan Sri Wedari dengan 
pertunjukan wayang orang yang main setiap malam. Masyarakat Surakarta 
dan sekitarnya (yang masih kuat berorientasi ke budaya istana), 
menyambut dengan gembira. Melalui pertunjukan wayang orang, mereka bisa 
mengidentifikasikan dirinya dengan kaum priyayi dan bisa mengagumi kebesaran masa silam….. 
Di
 Yogyakarta, dengan restu Sultan, perkumpulan tari Krida Beksa Wirama 
didirikan tahun 1918 dan sejak itu tarian keraton boleh diajarkan kepada
 rakyat banyak. Upaya meneguhkan legitimasi kekuasaan raja tetap 
dilakukan dengan patronase pertunjukan gamelan, tari, dan wayang. Selama
 memerintah (1921-39), Sultan Hamengku Buwono VIII mementaskan 11 lakon 
wayang orang. Beberapa di antaranya didukung oleh 300-400 seniman dan 
mengambil waktu 3-4 hari, dari jam 06:00 sampai 23:00 
(http://www.heritageofjava.com/)
Perubahan
 seni tradisi Kraton Jawa dari sebagai bentuk ekspresi budaya dan ritual
 kraton menjadi seni pertunjukan popular menjadikan seni tari dan wayang
 menyatu sebagai milik orang Jawa. Seni tradisi dikembangkan dan 
diwariskan turun temurun sebagai bagian dari identitas budaya Jawa. 
Seni
 tradisional Jawa yang telah menjadi identitas yang dilakoni dan 
dihidupi oleh orang Jawa selama bertahun-tahun itu saat ini mengalami 
erosi akibat kuatnya pengaruh budaya Barat yang disebarkan melalui  
tehnologi media seperti film dan televisi.  Anak-anak muda jaman 
sekarang lebih menyukai tari, lagu dan musik Barat ketimbang seni 
tradisional. Mereka lebih memilih mempelajari seni musik Barat daripada 
belajar karya seni tradisi. Karya seni Barat terkesan  modern dan lebih 
bergengsi, juga lebih ekspresif, spontan dan energik sehingga dirasa 
lebih pas dengan gejolak jiwa muda .
Kekhawatiran
 bahaya ancaman budaya asing terhadap keberlanjutan tradisi budaya local
 nampaknya tidak hanya berlaku untuk budaya Jawa tapi juga tradisi 
banyak suku di Indonesia. Kompas Minggu, 22 Mei 2011 dalam rubrik 
persona kebetulan juga mengulas masalah ini. Dengan judul “Negeri dalam 
Darurat Tradisi” rubrik ini memuat wawancara dengan Prof. Dr. Nurhayati 
Rahman,M.Hum yang risau akan punahnya kebudayaan local dan seni tradisi 
suku Bugis : “Negeri ini berada dalam darurat tradisi. Penelitian saya 
tahun 2003 memperlihatkan para maestro seni tradisi usianya rata-rata 
60-70an tahun. Kalau tak ada transformasi pengetahuan kepada generasi 
muda, praktis 10 tahun mendatang seni tradisi di Sulawesi Selatan akan 
habis…Kalau hal ini terjadi di semua kebudayaan di Indonesia, kita akan 
menjadi bangsa yang kehilangan sukmanya. Putus sudah yang menghubungkan 
kita sebagai bangsa ”. 
Budaya
 asing yang mengancam eksistensi budaya local bukan hanya datang dari 
hegemoni budaya Barat tapi juga budaya tandingannya. Kuatnya penetrasi 
budaya global telah memicu perlawanan berupa menguatnya  gerakan anti 
Barat berikut nilai dan ideologi yang terkandung di dalamnya. Gerakan 
ini cenderung ingin mengembalikan tatanan social, budaya dan politik 
yang menurut mereka merupakan praktek yang paling ideal dan menjanjikan 
kesejahteraan.  Gerakan anti budaya Barat  ini juga memperoleh dukungan 
kuat di Indonesia. Sama halnya dengan budaya Barat, gerakan ini 
mengenalkan identitas budaya yang berbeda dan bahkan dalam hal tertentu 
tidak komplemen dengan budaya Jawa dan budaya local banyak suku di 
Indonesia umumnya.
Baik
 budaya Barat maupun budaya tandingannya ternyata berpotensi membuat 
orang Jawa melupakan dan bahkan menilai rendah budaya nenek moyangnya 
sendiri. Setelah menonton begitu indahnya harmonisasi antara musik 
gamelan, kostum dan gerak tari tradisional Jawa tidak terbayang sedihnya
 kalau budaya yang adiluhung itu dilupakan dan dimusnahkan sebagai 
identitas orang Jawa. Budaya apa yang akan kita turunkan ke generasi 
muda suku Jawa? Apakah identitas budaya baru itu sedemikian berharganya 
sampai kita tega memusnahkan kekayaan dan keluhuran budaya ‘indigenous” kita sendiri? 
Tentang
 hal ini, Prof. Nurhayati Rahman menyatakan ancaman kepunahan seni 
tradisi di Indonesia bukan hanya karena ancaman budaya asing, namun 
karena “ Kita tak punya kecintaan pada diri kita, bangsa kita, Negara 
kita. Kita bangga kalau bisa impor segala sesuatu, termasuk ilmu 
pengetahuan. Makanya tak ada penemuan baru, karena terlalu “menurut 
mereka”, bukan “menurut kita”. Padahal sumber pengetahuan kita 
berlimpah”.
Khusus
 untuk seni tradisional Jawa, saya optimis masih banyak orang Jawa yang 
“sangat Jawa”. Budaya Jawa dengan pusatnya Kraton Surakarta dan 
Yogyakarta, ibarat pohon mempunyai akar kuat dalam hati dan jiwa manusia
 Jawa. Nilai-nilai ajaran Jawa berikut  ritual tradisi tetap terus akan 
dilakoni orang Jawa  selama Kraton tetap menjadi pusarnya. Banyaknya 
sanggar seni dan lembaga pendidikan seni di Solo dan Yogyakarta akan 
terus mencetak seniman-seniman tradisi yang terpanggil untuk merawat 
dan  mencintai warisan leluhurnya. Buktinya dalam pertunjukan seni 
Mangkunegaran Performing Art 2011 ditampilkan lakon wayang orang yang 
sebagian besar pelakunya anak-anak kecil usia TK , SD dan SMP. Dan 
mereka menunjukkan bakat seni yang sungguh luar biasa. Terima kasih 
untuk para seniman dan para guru seni yang mempunyai dedikasi tinggi 
untuk mengabdi bagi seni tradisi dan  yang telah berhasil mencetak 
calon-calon penerus budaya Jawa.