Budaya Banjir Jakarta

 BUDAYA BANJIR DI IBU KOTA


Banjir Jakarta 2013 adalah bencana banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya pada pertengahan Januari 2013 yang menyebabkan Jakarta dinyatakan dalam keadaan darurat. Selain curah hujan yang tinggi sejak Desember 2012, sistem drainase yang buruk, dan jebolnya berbagai tanggul di wilayah Jakarta, banjir ini juga disebabkan meningkatnya volume 13 sungai yang melintasi Jakarta. Hingga pertengahan Januari 2013, Jakarta tercatat mencapai rekor curah hujan hingga 250-300mm, melebihi kondisi Banjir Jakarta 2002 yang mencapai 200mm, namun masih di bawah kondisi Banjir Jakarta 2007 yang mencapai 340mm. Tingginya curah hujan di kawasan bisnis MH Thamrin membuat jalanan tergenang pada tanggal 22 Desember, mulai dari Sarinah, Sabang hingga Monumen Nasional. Kepala Dinas PU DKI Jakarta, Ery Basworo, menyatakan tingginya curah hujan sebagai penyebab buruknya genangan dan menyangkal adanya masalah drainase dan sampah. Buruknya genangan disebabkan pompa yang telah disediakan tidak mampu mengimbangi tingginya aliran air yang hendak dipindahkan ke Kanal Banjir Barat.
Namun pendapat ini dibantah oleh Kementerian Pekerjaan Umum melalui Menteri Djoko Kirmanto, yang menegaskan masalah sampah yang menyumbat drainase dan menghalangi aliran air menuju pompa yang telah terpasang. Kementerian Pekerjaan Umum juga menjanjikan alokasi dana hingga 18 Triliun rupiah untuk mengatasi masalah banjir di Jakarta.
Hal ini diperkuat lagi oleh fakta bahwa gorong-gorong di sekitar wilayah tersebut yang ternyata hanya berukuran 60 sentimeter, dan belum pernah dibangun lagi semenjak tahun 1970an. Inisiatif Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo untuk memeriksa drainase di Jalan MH Thamrin, membuat hal tersebut terungkap kepada publik dan akhirnya memunculkan ide untuk membangun Smart Tunnel untuk membantu mempercepat mengalirnya air ke laut.
Berbagai pendapat mengalir deras bagaikan arus banjir itu sendiri, mulai dari akademisi, praktisi hingga mereka yang disebut sebagai pakar mengemukakan bermacam pandangan mereka mulai dari menganalisa penyebab banjir yang beragam sampai menyampaikan wacana solusi banjir yang terbaik menurut mereka. Satu sama lain bahkan sampai berbantah-bantahan, adu argumen seru di berbagai media televisi yang ditonton ribuan bahkan jutaan warga negara Indonesia, adapula yang terbawa kebiasaan lama bangsa ini yaitu saling menyalahkan hingga mencari kambing hitam. Kehebatan mereka dalam mengemukakan usul dan pandangan masing-masing bahkan seolah-olah menenggelamkan kehebatan para pahlawan sebenarnya yang berada di lapangan ; anggota BNPB, BPBD, TNI - Polri, SAR, Pemadam Kebakaran sampai Relawan termasuk Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, pasangan Jokowi – Ahok yang langsung turun ke tengah masyarakat. Sementara “orang-orang pintar nan pandai” berwacana berlomba membuktikan kejeniusan mereka masing-masing dalam membedah permasalahan banjir DKI Jakarta, para pahlawan di dunia nyata tadi berbasah-basah dalam genangan banjir membantu dan menyelamatkan para korban banjir sembari berpikir keras bagaimana mencari solusi terbaik berdasar kondisi riil di lapangan, tanpa banyak kata. Mereka tak segan dan tak ragu meninggalkan keluarga mereka untuk membantu sesamanya, warga DKI Jakarta.
Kini banjir DKI Jakarta menyisakan pelajaran dan hikmah bagi seluruh lapisan warga masyarakat terutama warga Jakarta. Alam sedang mengembalikan hasil perbuatan manusia kepada alam, perlakuan manusia terhadap air dibalas dengan limpahan air jutaan galon berikut bukti kekejaman perilaku manusia terhadap air berupa sampah yang ditinggalkan pasca banjir. Alam menunjukkan kepada manusia betapa air, yang begitu lumer, yang begitu fleksibel dan mudah menyesuaikan bentuknya dengan tempatnya berada pun ternyata mampu menyapu manusia berikut bangunan fisik peradaban manusia. Air menunjukkan supremasinya kepada manusia, bahwa ia tak dapat dihalangi, bahwa ia membutuhkan jalan nan lapang dan bersih untuk pulang ke ibunya : LAUT !
Dalam satu kesempatan Gubernur DKI Jakarta Jokowi, berkata : “Setelah banjir nanti, jangan lagi kita lupa, jangan lagi kita terlena bahwa banjir masih selalu mengancam kita.” Ia tidak pernah sekalipun menyalahkan warganya yang masih saja memiliki tabiat aneh, yaitu : BUANG SAMPAH DI SUNGAI, sebuah tabiat yang samasekali tidak mencerminkan martabat kehidupan beradab. Ia tidak pernah menyalahkan siapapun, ia hanya mengingatkan, menghimbau kepada siapapun agar membiasakan diri dalam cara – cara hidup yang santun kepada alam. Ia sadar betul bahwa banyak warganya yang belum menyadari betapa perilaku manusia mampu memancing kemurkaan alam.
Saya yakin banyak pelajaran yang mampu dipetik oleh orang nomor 1 di DKI Jakarta itu dari banjir DKI Jakarta 2013, dalam ketenangan pembawaannya terdapat kedewasaan kepemimpinan yang tinggi, ia tak pernah banyak bicara, tak pernah banyak berwacana dan ia hanya banyak bekerja. Dia benar-benar mengusung filosofi “Ing Ngarso Sung Tuladha” sebagai pemimpin yang memberikan contoh melalui tindakannya.
Kini mungkin banyak mata yang terbuka, bahwa sampah dengan segala problematikanya memang merupakan “umpan” yang sangat baik untuk “memancing” sang banjir. Lantas bagaimana selanjutnya kita menyikapinya ? Pertanyaan itu sebenarnya bisa dijawab dengan pertanyaan lain yang paling sederhana : “Kapokkah kita dengan banjir?”.
Jika kita lihat tayangan-tayangan televisi selama ini, akan muncul kesan : BEGITU MUDAHNYA MELENYAPKAN SAMPAH DARI HADAPAN KITA, TINGGAL LEMPAR KE SUNGAI, SELESAI.
Ya, selesai dari hadapan kita sesaat dan pada waktu itu, namun kita belum sadar bahwa satu ketika nanti “tabungan sampah” itu, berikut “bunganya” akan dikembalikan lagi kepada kita dalam jumlah yang fantastis.
Saya sungguh berharap satu ketika nanti di DKI Jakarta muncul tabiat dan budaya baru : BEGITU MUDAHNYA MELENYAPKAN SAMPAH DARI HADAPAN KITA, TINGGAL MASUKKAN KE TEMPAT SAMPAH, SELESAI.
Masalahnya sekarang, tiap kali mereka ingin buang sampah mereka celingak-celinguk sambil bertanya dalam hati : “dimana sih tempat sampahnya, kenapa ga keliatan tempat sampah di sekitar sini ya?”, akhirnya karena merasa susah menemukan tempat sampah (ditambah rendahnya rasa disiplin) sampah yang niat awalnya mau dibuang ketempatnyapun mereka buang asal-asalan.
Kenapa begitu susah untuk sekedar buang sampah ditempatnya? Bukan niatnya yang susah, tapi lebih karena susah mencari tempat sampahnya ! Lalu kenapa niat baik itu tidak difasilitasi?
Jangan hanya menumpukan dan membebankan masalah pengelolaan sampah kepada pemerintah dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta. Bukankah program Corporate Social Responsibilities ( CSR ) juga dapat mengambil peranan disitu ?
DKI Jakarta yg merupakan pusat kantor-kantor besar, pusat usaha-usaha nasional, serta tempat bercokolnya orang-orang kaya justru sangat miskin tempat sampah. Andai seluruh perusahaan, kantor dan pengusaha kaya yang ada di DKI Jakarta menyumbang jutaan tempat sampah untuk disebar ke segenap penjuru kota sampai ke pelosok kampung-kampung ditambah management pengelolaan sampah yang baik maka pada satu ketika nanti masyarakat yang selama ini punya kebiasaan : “Sangat mudah buang sampah di sungai, tinggal lempar, selesai !” akhirnya merasa : “Lebih mudah buang sampah di tempatnya (karena mudah ditemui dan ada di sekitar kita) , tinggal masukin ketempatnya, selesai” maka kedepan DKI Jakarta mungkin juga akan menyandang sebagai Kota Berseri (Bersih, Sehat, Rapi, Indah) dan banjirpun akan enggan untuk menyambangi warga DKI Jakarta, yang pada gilirannya warga sendirilah yang nantinya akan merasakan manfaatnya.

Author:

Facebook Comment