Budaya Sunda

Budaya Sunda

SUKU SUNDA

SEJARAH

Sunda sebagai nama kerajaan kiranya baru muncul pada abad ke- 8 sebagai lanjutan atau penerus kerajaan Tarumanegara. Pusat kerajaannya berada disekitar Bogor, sekarang. Sejarah Sunda mengalami babak baru karena arah pesisir utara di Jayakarta (Batavia) masuk kekuasaan kompeni Belanda sejak (1610­) dan dari arah pedalaman sebelah timur masuk kekuasaan Mataram (sejak 1625).
Menurut RW. Van Bemelan pada tahun 1949, Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India timur, sedangkan dataran bagian tenggara dinamai Sahul. Suku Sunda merupakan kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indeonesia. Yaitu berasal dan bertempat tinggal di Jawa Barat. Daerah yang juga sering disebut Tanah Pasundan atau Tatar Sunda.

DESKRIPSI LOKASI

Secara cultural daerah Pasundan di daerah timur dibatasi oleh sungai-sungai Cilosari dan Citanduy, yang merupakan perbatassan bahasa. Wilayah ini sendiri memiliki luas 55.390 km² serta terdiri atas 20 kabupaten. Tanah Pasundan ini dikenal karena iklimnya yang sejuk dan keindahan panoramanya. Berada di daerah dataran tinggi dengan curah hujan tinggi sehingga kesuburan tanahnya tidak diragukan lagi. Pada tahu 1998, suku Sunda berjumlah kurang lebih 33 juta jiwa, kebanyakan dari mereka hidup di Jawa Barat. Nama mereka sering dianggap sebagai orang Sundan di Afrika dan salah dieja dalam ensiklopedia. Beberapa koreksi ejaan dalam komputer juga mengubahnya menjadi Sudanese.

UNSUR-UNSUR BUDAYA

1. BAHASA
Bahasa Sunda juga mengenal tingkatan dalam bahasa, yaitu unda-usuk bahasa untuk membedakan golongan usia dan status sosial antara lain yaitu :
1. Bahasa Sunda lemes (halus) yaitu dipergunakan untuk berbicara dengan orang tua, orang yang dituakan atau disegani.
2. Bahasa Sunda sedang yaitu digunakan antara orang yang setaraf, baik usia maupun status sosialnya.
3. Bahasa Sunda kasar yaitu digunakan oleh atasan kepada bawahan, atau kepada orang yang status sosialnya lebih rendah.
Namun demikian, di Serang, dan Cilegon, bahasa Banyumasan (bahasa Jawa tingkatan kasar) digunakan oleh etnik pendatang dari Jawa.

2. RELIGI
Sebagain besar masyarakat suku Sunda menganut agama Islam, namun ada pula yang beragama kristen, Hindu, Budha, dll. Mereka itu tergolong pemeluk agama yang taat, karena bagi mereka kewajiban beribadah adalah prioritas utama. Contohnya dalam menjalankan ibadah puasa, sholat lima waktu, serta berhaji bagi yang mampu. Mereka juga masih mempercayai adanya kekuatan gaib. Terdapat juga adanya upacara-upacara yang berhubungan dengan salah satu fase dalam lingkaran hidup, mendirikan rumah, menanam padi, dan lain-lainnya.

3. TEKNOLOGI
Hasil-hasil teknologi terkini sangat mudah didapatkan seperti alat-alat yang digunakan untuk pertanian yang dasa jaman dulu masih menggunakan alat-alat tradisional, kini sekarang telah berubah menggunakan alat-alat modern, seperti traktor dan mesin penggiling padi. Disamping itu juga sudah terdapat alat-alat telekomunikasi dan barang elektronik modern.

4. MATA PENCAHARIAN
Mata pencaharian pokok masyarakat Sunda adalah
1. Bidang perkebunan, seperti tumbuhan teh, kelapa sawit, karet, dan kina.
2. Bidang pertanian, seperti padi, palawija, dan sayur-sayuran.
3. Bidang perikanan, seperti tambak udang, dan perikanan ikan payau.
Selain bertani, berkebun dan mengelola perikanan, ada juga yang bermata pencaharian sebagai pedagang, pengrajin, dan peternak.

5. ORGANISASI SOSIAL
Sistem kekerabatan yang digunakan adalah sistem kekerabatan parental atau bilateral, yaitu mengikuti garis keturunan kedua belh phak orang tua. Pada saat menikah, orang Sunda tidak ada keharusan menikah dengan keturunan tertentu asal tidak melanggar ketentuan agama. Setelah menikah, pengantin baru bisa tinggal ditempat kediaman istri atau suami, tetapi pada umumnya mereka memilih tinggal ditempat baru atau neolokal. Dilihat dari sudut ego, orang Sunda mengenal istilh tujuh generasi keatas dan tujuh generasi ke bawah, antara lain yaitu :
Tujuh generasi keatas :
Kolot
Embah
Buyut
Bao
Janggawareng
Udeg-udeg
Gantung siwur

Tujuh generasi kebawah :
Anak
Incu
Buyut
Bao
Janggawareng
Udeg-udeg
Gantung siwur

6. SISTEM PENGETAHUAN
Fasilitas yang cukup memadai dalam bidang pengetahuan maupun informasi memudahkan masyarakat dalam memilih institusi pendidikan yang akan mereka masuki dalam berbagai jenjang. Seperti pada permulaan masa kemerdekaa di Jawa Barat terdapat 358.000 murid sekolah dasar, kemudian pada tahun 1965 bertambah menjadi 2.306.164 murid sekolah dasar. Jadi berarti mengalami kenaikan sebanyak 544%. Pada saat ini pada era ke- 20 disetiap ibukota kabupaten telah tersedia universitas-universitas, fakultas-fakultas, dan cabang-cabang universitas.

7. KESENIAN
Masyarakat Sunda begitu gemar akan kesenian, sehingga banyak terdapat berbagai jenis kesenian, diantaranya seperti :
1. Seni tari : tari topeng, tari merak, tari sisingaan dan tari jaipong.
2. Seni suara dan musik :
Ø Degung (semacam orkestra) : menggunakan gendang, gong, saron, kecapi, dll.
Ø Salah satu lagu daerah Sunda antara lain yaitu Bubuy bulan, Es lilin, Manuk dadali, Tokecang dan Warung pojok.
3. Wayang golek
4. Senjata tradisional yaitu kujang
Read More

Suku lampung

Suku lampung

SUKU LAMPUNG

SEJARAH

Suku bangsa Lampung konon berasal dari Skala Brak, yang sekarang merupakan bagian wilayah kecamatan Belalau, kabupaten Lampung Utara. Asal kata “Lampung” sendiri konon berasal dari kata “terapung” yang berkaitan dengan turunnya dari langit tokoh ternama ‘Si Lampung Ratu Bulan’. Pendapat lain menghubungkan kata itu dengan ucapan “to-lang-p’ao-whang” yang ada dalam catatan Cina. Akhirnya ucapan “to-lang-p’ao-whang” berubah menjadi Lampung.

DESKRIPSI LOKASI

Suku Lampung adalah suku yang menempati seluruh provinsi Lampung dan sebagian provinsi Sumatra Selatan bagian selatan dan tengah. Suku bangsa Lampung dibedakan menjadi 2 sub-suku bangsa yakni Lampung Pepadun, dan Lampung Peminggir. Lampung Pepadun berada di kecamatan kota Bumi, Abung Barat, Sukadana, Terbanggi Besar, Gunung Sugih. Sedangkan, Lampung Peminggir berada di daerah Labuhan Meringgai, Liwa, Kenali, Pesisir, Cukuh Balak, Talang Padang, Kotaagung, Wonosobo.

UNSUR BUDAYA :

A. BAHASA
Bahasa orang Lampung disebut behasou Lampung atau umung Lampung atau cewo Lampung. Bahasa ini dibagi menjadi 2 logat yakni :
1. Logat Lampung Belalau, terbagi lagi menjadi :
a. logat Jelma Doya,
b. Pemanggilan Peminggir,
c. Melinting Peminggir
d. Pubian.
2. Logat Lampung Abung, terbagi lagi menjadi :
a. Sub dialek Abung
b. Sub dialek Tulang bawang.
Orang Lampung juga memiliki aksara sendiri yang disebut surat Lampung.

B. PENGETAHUAN
Pada masa lalu orang Lampung telah mengenal pola perkampungan yang menyebar disepanjang aliran sungai. Orang Lampung juga telah memiliki aksara sendiri. Selain itu, mereka juga sudah mengenal bangunan semacam lumbung disebut “walai” atau “balai” untuk menyimpan bahan makanan pokok.

C. TEKNOLOGI
Pada masa lalu, orang Lampung telah memiliki keris yang disebut emas wai besi yang dipakai khusus oleh golongan bangsawan pada masyarakat Lampung Pepadun.

D. RELIGI
Orang Lampung merupakan pemeluk agama Islam. Tetapi walaupun dikenal sebagai pemeluk agama Islam, di kalangan masyakarat Lampung masih berkembang sisa-sisa kepercayaan lama yang mereka sebut kepercayaan pada Zaman Tumi. Mereka juga mempercayai makhluk-makhluk halus dan benda-benda kuno dengan kekuatan saktinya. Sehubungan dengan kepercayaan ini, mereka mengenal berbagai upacara adat dengan berbagai sesajian sebagai pelengkapnya.

E. KESENIAN
Orang Lampung dikenal sebagai penghasil kain tenun tradisional (tapis) dengan motif hiasan yang indah. Pada masa lalu, kain tapis ini hanya digunakan pada upacara perkawinan atau upacara adat lainnya. Bentuk kesenian lainnya yaitu jenis tari-tarian yang dikembangkan untuk kebutuhan upacara-upacara adat, misalnya tari sambai, tari kipas, dan sebagainya. Mereka juga memiliki alat-alat musik miasalnya, gendang, kulintang, talo, dan serdam (suling bambu).

F. MATA PENCAHARIAN
Orang Lampung pada umumnya hidup dari bercocok tanam. Dahulu, mereka mengerjakan ladang (umbulan) dengan sistem perladangan berpindah-pindah. Hasil pertanian yang terkenal antara lain kopi, lada, karet, dan cengkeh. Selain bercocok tanam, sejak dulu orang Lampung sudah mengenal usaha peternakan binatang yang diternakkan meliputi kerbau, sapi, kambing, dan unggas.

G. ORGANISASI SOSIAL
Ø Perkawinan Bentuk perkawinan masyarakat Lampung dibedakan atas 2 bentuk, yaitu
1. Perkawinan biasa. Dalam perkawinan biasa seorang istri dan anak-anaknya menjadi anggota kelompok suaminya. Sebagai gantinya, suami diwajibkan memberikan mas kawin dan uang jujur (uang jojoh).
2. Perkawinan semanda. Dalam perkawinan ini, pihak keluarga laki-laki tidak membawa uang jujur, tetapi sang suami dan anak-anaknya menjadi anggota keluarga sang istri.
Selain itu, dalam perkawinan pada masyarakat Lampung, ada larangan kawin antara orang-orang yang tidak sederajat.

Ø Kekerabatan
Prinsip penarikan garis keturunan orang Lampung bersifat patrilineal. Pada masyarakat Saibatin pengelompokan dalam satu kampung membentuk sebuah klen kecil yang disebut sebatin yang terbentuk atas dasar keturunan atau perkawinan. Secara umum anak laki-laki tertua dari keturunan yang lebih tua mempunyai kedudukan istimewa, yaitu sebagai ahli waris keluarganya.

Ø Sistem kemasyarakatan
Pada masyarakat Lampung Saibatin, pemimpin Saibatin disebut penyimbang sebatin. Sedangkan pada masyarakat Lampung Pepadun, dipimpin oleh penyimbang tiyuh. Beberapa tiyuh tergabung menjadi satu kesatuan lebih besar disebut buay atau kebuayan. Pada masyarakat Lampung Pepadun berlaku hukum adat yang didasarkan pada Piagam Adat Lampung Siwo Migo. Pelanggaran terhadap ketentuan adat dikenai sanksi berupa denda atau keharusan melaksanakan upacara adat.

NILAI-NILAI BUDAYA

Ø Sakai Sambayan adalah gotong royong, tolong menolong.
Ø Pi’il Pesenggiri adalah harga diri, perilaku, sikap hidup.
Ø Nemui Nyimah adalah murah hati, dan ramah tamah terhadap semua.
Ø Nengah Nyappur adalah membuka diri dalam pergaulan.
Ø Bejuluk Beadek adalah saling menghormati.

ASPEK PEMBANGUNAN

Pada masa lalu, masyarakat Lampung mengenal adanya pembagian pelapisan sosial. Tetapi dengan berjalannya waktu, sistem pelapisan sosial ini mulai berubah. Kalangan rakyat biasa dapat tampil menjadi pemimpin dan memegang kekuasaan. Orng Lampung juga sangat menghormati dan mematuhi hukum adat yang berlaku sebagai cerminan tingkah laku di jaman modern saat ini.
Read More

Suku osing

Suku osing

SUKU OSING



LETAK GEOGRAFIS

Suku Using terletak di Jawa Timur dan kurang lebih menempati separuh dari wilayah Banyuwangi. Banyuwangi adalah sebuah kabupaten di provinsi Jawa Timur di Indonesia. Kabupaten ini terletak di wilayah ujung paling timur pulau Jawa. Sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Situbondo. Sebelah timur berbatasan dengan selat Bali. Sebelah selatan berbatasan dengan samudra Hindia. Dan sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Jember dan kabupaten Bondowoso.
Pelabuhan Ketapang menghubungkan pulau Jawa dengan pelabuhan Gilimanuk di Bali. Suku Osing adalah penduduk asli Banyuwangi dan merupakan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Masyarakat Banyuwangi yang masih memiliki budaya asli suku Using yakni Desa Kemiren, kecamatan Glagah, dan kabupaten Banyuwangi. Wilayah desa Kemiren termasuk dari daerah daratan yang banyak sumber-sumber air atau yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai belik

SEJARAH

Suku Osing adalah penduduk asli dari Banyuwangi yang telah menjadi penduduk mayoritas. Osing lahir akibat runtuhnya kerajaan Majapahit. Pada waktu itu orang-orang Majapahit mengungsi kebeberapa tempat, yaitu lereng gunung Bromo (suku Tengger), Blambangan (suku Osing) dan Bali, peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1478 M. Kerajaan yang didirikan oleh masyarakat Osing adalah kerajaan terakhir yang bercorak Hindu-Budha.

SISTEM RELIGI

Pada awal terbentuknya masyarakat Osing, kepercayaan pertama suku Osing adalah ajaran Hindu-Budha seperti halnya Majapahit. Seiring dengan berkembangnya kerajaan Islam di Pantura menyebabkan agama Islam menyebar dengan cepat dikalangan suku Osing, sehingga pada saat ini agama masyarakat Osing sebagian besar memeluk agama Islam. Selain agama Islam, masyarakat suku Osing juga masih memegang kepercayaan lain seperti Saptadharma yaitu kepercayaan yang kiblat sembayangnya berada di timur seperti orang Cina, Pamu (Purwo Ayu Mandi Utomo) yaitu kepercayaan yang masih bernafaskan Islam. Sistem religi yang ada di masyarakat Osing ada yang mengandung unsur Animisme, Dinamisme, dan Monotheisme.

BAHASA

Bahasa asli suku Osing merupakan turunan langsung dari bahasa Jawa kuno, namun dialek bahasa Osing berbeda dengan bahasa Jawa. Bahasa Osing mengenal sisem ajaran yang khas yaitu kata-kata yang didahului dengan konsonan (B, D, G) serta di beri sisipan (Y), contohnya : abang menjadi abyang, abah menjadi abyah.

MATA PENCAHARIAN

Macam-macam mata pencaharian masyarakat suku Osing yaitu dengan keadaan topografi daerah Banyuwangi terutama desa Kemiren yang cukup tinggi maka macam-macam mata pencaharian di masyarakat Kemiren adalah Pegawai Negeri, ABRI, Guru, Swasta, Pedagang, Petani, Peternak, Pertukangan, Buruh Tani, Pensiunan, Nelayan, Pemulung, Buruh Biasa, dan Buruh Jasa.
Macam-macam jenis hasil mata pencahariannya yaitu hasil pertanian yang terdiri dari atas padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kentang, tomat, bawang, kacang panjang, terong, timun, dan lain-lain. Selain itu juga terdapat hasil perkebunan yang terdiri atas kelapa, kopi, cengkeh, randu, mangga, durian, pisang, rambutan, pepaya, apokat, jeruk, dan blimbing. Dan ada terdapat juga hasil perindustrian yang terdiri atas tenunan, atau plismet, ukir-ukiran, dan kerajinan barang lainnya.
Dalam bermata pencaharian masyarakat suku Osing terdapat teknik-teknik dalam bermata pencaharian yaitu cara kerja yang dilakukan masyarakat suku Osing yaitu seperti dalam teknik pertanian yaitu membajak, dan pembasmian hama dan teknik dalam home industri yaitu menenun, dan mengukir.

ORGANISASI SOSIAL

Pola perkawinan. Masyarakat suku Osing di Banyuwangi mempunyai tradisi perkawinan yang terpengaruh gaya Jawa, Madura, Bali, bahkan pengaruh dari suku lain di luar Jawa dalam hal gaun pengantinnya. Di lingkungan masyarakat suku Osing Banyuwangi berlaku adat perkawinan dengan melalui tahap-tahap sebagai berikut : (1) tahap perkenalan; (2) tahap meminang; (3) tahap peresmian perkawinan. Selain dari tahap-tahap tersebut, masyarakat suku Osing Banyuwangi juga mengenal adat perkawinan yang cukup menarik, yaitu Adu Tumper dan Perang Bangkat.
Sistem organisassi sosial. Suku Osing berbeda dengan suku Bali dalam hal stratifikasi sosial. Suku Osing tidak mengenal kasta seperti halnya suku Bali. Pola kekerabatan di masyarakat suku Osing adalah bilateral yang lebih mengararah pada patrilineal. Sistem lembaga masyarakat suku Osing antara lain kepala desa, sekretaris desa, LMD, kaur pemerintahan, kaur kesra, kaur pembangunan, dan kaur keuangan.

KESENIAN

Suku Osing banyak memiliki kesenian yang unik dan sarat akan magis. Kesenian suku Osing adalah kesenian yang memiliki keaneragaman corak budaya, sebab dalam keseniannya suku Osing banyak dipengaruhi oleh Bali, akan tetapi corak keseniannya juga dipengaruhi oleh Madura dan Eropa. Kesenian suku Osing diantaranya adalah :
1. Tarian yaitu tari gandrung door, tari jejer dawuh, tari jejer gandrung, tari sumber wangi, tari padang wulan, tari jaran goyang, tari kunthulan, tari barong, tari seblang, tari jengger, tari jaran kecak.
2. Lagu daerah yaitu padang wulan, jejer gandrung, jaran ucul.
3. Seni musik dan instrumen musik yaitu angklung caruk, angklung paglak, karawitan, selentem, peking, gong, ketuk, kluncing, biola, sason, saron, gamelan Osing.

SISTEM PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

Pengetahuan tentang alam sekitar (dongeng, legenda mitos), pengetahuan tentang flora, makanan khas, obat-obatan.
Perlengkapan :
1. Perlengkapan berlindung :
· Jenis rumah dan bentuk rumah : tikel balung, baresan, serocokan.
· Bagian dan fungsi ruangan rumah : amperan, bale,/jerungan, pawon.
2. Perlengkapan alat mata pencaharian : teter, singkal, patuk sangkan, boding, atau parang, kilung.
3. Alat perlengkapan rumah tangga.
4. Alat perlengkapan dalam ritual keagamaan.
5. Alat transportasi meliputi mobil pick up yang digunakan untuk mengangkut barang-barang dan juga orang.
6. Senjata : pedang, keris, cundrik, tolop, tolop sengkop.

ASPEK PEMBANGUNAN

Pemerintah Banyuwangi menyadari potensi dasar pada budaya suku Osing dengan menetapkan desa Kemiri di kecamatan Glagah sebagai desa adat yang harus dilestarikan agar dapat memelihara nilai-nilai budaya suku Osing.

NILAI BUDAYA

Nilai budaya yang terdapat pada suku Osing adalah menjunjung tinggi kegotong royongan, kerja bakti, arisan, silaturrahmi atau saling berkunjung dan sumbang menyumbang.
Read More

Kebudayaan tengger

Kebudayaan tengger

 

Bromo Tengger merupakan sebuah nama yang tidak asing bagi para pencinta dunia traveller sebagai petualang di daerah terbuka. Taman Nasional Semeru Bromo Tengger merupakan area yang mencakup luas 800 kilometer persegi di pusat Jawa Timur. Bagi kita yang akan mengadakan perjalanan wisata edukasi budaya dengan  melihat dan menyaksikan keindahan alam di Bromo Tengger, maka kita dapat mengunjungi Taman Nasional Semeru Bromo Tengger.



Berkunjung ke gunung Bromo Tengger, merupakan suatu hal kewajiban bagi kita untuk mengunjungi Taman Nasional Semeru Bromo. Karena wilayah ini merupakan wilayah vulkanik terbesar di provinsi ini. Melihat gumpalan asap datang dari Mt. Semeru, yang merupakan gunung berapi aktif yang baik 3676 meter di atas permukaan laut, dengan pemandangan laut gurun pasir tandus seluas 10 km, dalam kaldera naik kerucut vulkanik  yang membuat pecahan dari Bromo.Informasi yang penulis dapat kan dari sebuah alat pengukur suhu udara, pada saat penulis berada di puncak gunung Bromo alat termometer menunjukan pergerakan dari angka 5 hingga 18 derajat celcius.


Berada di puncak gunung Bromo merupakan suatu anugerah tersendiri bagi kita untuk menikmati pemandangan alam dengan ketajubkan fenomena yang mengasyikkan. Menyaksikan keindahan fenomena alam awal munculnya sang fajar di pagi hari yang dapat melarutkan jiwa kita dalam ketajubkan sebuah ciptaan Tuhan yang sangat luar biasa.



Suatu perjalanan menuju deaerah Bromo yang terkenal dengan keunikkan masyarakat Tengger yang masih kental dengan budayanya. Banyak penulis-penulis yang hadir di kawasan daerah ini, untuk menyelusuri jejejak sejarah masyarakat Tengger. Mereka hadir dan berbaur dengan masyarkat Tengger dan para tokoh-tokoh masyarakat, hingga mengunjungi setiap situs berseharah yang ada di Tengger. Informasi yang penulis dapatkan, rata-rata penulis yang hadir di daerah desa Tengger adalah orang dari luar negeri. Banyak informasi yang penulis dapatkan di tempat ini, terutama tentang latar belakang sejarah kebudayaan masyarakat Tengger.


Informasi yang penulis dapatkan dari berbagai sumber di Tengger, dan juga dari beberapa pendukung daftar pustaka yang penulis pernah baca. Masyarakat Tengger pada masa Hindu - Buddha yang terkenal dengan keadaan masyarakat Jawa pada umumnya, tidak kelihatan seperti sekarang ini. Perubahan kebudayaan masyarakat Tengger telah terjadi sebagai akibat dari terciptanya imperium Mataram baru. Dan perubahan ini terjadi secara berangsur-angsur.

Pada masa Mataram kuna yang menjadi pusat centralnya berada di Jawa Tengah. Dan kerajaan merupakan suatu kekuasaan pusat yang sangat mengikat secara longgar sejumlah desa yang ada pada saat itu, dimana hal ini dinamakan wanna, dalam suatu kesatuan hal ini terjadi seperti federasi. Dan pada masa abad ke-8 hingga ke-10 pada satu waktu, mungkin sekali terdapat lebih dari satu kerajaan yang berdiri di Jawa.

Informasi selanjutnya.......
Koordinasi yang lebih ketat atas berbagai wilayah kerajaan, baru terjadi di masa Kediri pada abab XII-XIII Massehi. Di mana pada saat itu desa-desa yang berada di daerah Jawa Timur mendapat sebutan thani, digabung menjadi suatu kesatuan yang disebut wisaya, dengan satu diananya berfungsi sebagai "ibu desa", yang disebut dallem thani.

Dari sebuah keterangan yang di dapat........
Di dalam kerajaan Kadiri terdapat sejumlah wisaya. Di mana pusat kerajaan, disebut rajya atau nagara, dan dikembangkan ssebagai pusat kerajaan yang sekaligus menjadi pusat pertumbuhan kebudayaan, dan juga menjadi pusat kecanggihan hidup. Jadi....., apa yang menjadi perkembangan di suatu pusat itu, pada gilirannya dapat ditiru di dalem thani dan desa.

Walau demikian lanjut informasi yang penulis dapatkan........
Sebuah prasati dari zaman ini menunjukkan kenyataan bahwa :suatu dalem thani dapat tetap mengikuti sukha-duhkha atau yang disebut dengan aturannya sendiri. Di mana dapat dilihat bahwa "daerah" memiliki kemandirian hukumny sendiri. Situasi inilah yang kiranya hendak dikoreksi pada zaman Mataram baru dengan ucapan "desa mawa cara, negara mawa tata" yang memiliki arti "meskipun memang diakui bahwa masing-masing desa dapat mempunyai tata cara dalam hal-hal tertentu, namun ibukota kerajaan atau pun negara mempunyai aturan-aturan yang dalam hal tertentu harus diikuti oleh orang desa yang berurusan dengan pusat kerajaan"

Lanjut informasi yang penulis dapatkan.........
Sesudah zaman Kadiri, koordinasi kekuasaan dan kewilayaahan diperluas. Pembentukan imperium terjadi pada zaman Singhasari. Kediri menjadi salah satu bagian dari imperium baru pada saat itu. dan imperium ini lebih berkembang pula pada zaman Majapahit, ketika di samping wilayah yang dikoordinasi secara langsung dengan suatu sistem pemerintahan yang relatif ketat, terdapat pula wilayah nusantara, yaitu "daerah-daerah seberang laut" yang merupakan sahabat dari mereka. Meluasnya daerah pengaruh itu sebaliknya diikuti dengan keanekaragaman institusi di dalam kerajaan sendiri. Dan berbagai aliran keagamaan diakui keberadaannya.

Lanjut informasi yang penulis dapatkan.......
Pada zaman Majapahit terdapat tiga pejabat tinggi negara yang masing-masing mengurus agama yang diperdayakan, yaitu dharmmadhyaksa ring kasaiwan untuk agama Hindu-Siwa, dharmmadhyaksa ring kasogatan untuk agama Buddha, serta mantri her haji untuk mengurus "agama" karesyan. Dimana agama karesyan merupakan salah satu pkok bahasan utama dalam disertasi Supomo (1977) yang penulis dapatkan dari salah satu daftar pustaka bacaan. Dimana di dalam disertasi Supomo (1977) ia menyimpulkan bahwa di Jawa terdapat agama resi, yaitu agamawan yang mengasuh perguruan di daerah-daerah pegunungan, dan yang memuja kepada Yang Tertinggi yang dicitrakan sebagai "raja gunung", yang disebut sebagai Parwatarajadewa.

Lanjut.......
Dimana komuniti-komuniti keagamaan pun berkembang keanekaragamannya, dan masing-masing memiliki nama yang berbeda-beda. Satu hal yang perlu senantiasa kita sadari bahwa ada perbedaan antara peradaban kalangan keraton dan di luar keraton. Karena apa yang tercantum dalam prasati-prasati yang dikeluarkan atas nama raja pun tidak sepenuhnya harus mengacu kepada kaidah-kaidah keraton. Bila prasasti itu punya relevansi terpenting dengan komuniti pedesaan, maka apa yang tercantum di dalamnya pun sangat mungkin disesuaikan dengan konsep-konsep yang dipahami di dalam komuniti yang bersangkutan.

Penyebutan dewata-dewata dan roh-roh atau kekuatan-kekuatan penjaga alam yang sering disebutkan dalam sebuah prasati-prasati di bagian sapatha yang dikenal dengan sumpah atau pun sabda, dan banyak disebut dalam teks-teks para dukun atau yang disebut tokoh spiritual Tengger, dapat dilihat sebagai penggambaran suatu kepercayaan yang berada di luar keraton yang berkembang dalam institusi-institusi keagamaan di luar keraton.

Berkunjung di Bromo Tengger merupakan suatu perjalanan yang mengasyikkan. Di mana kita dapat membuktikan sekarang ini masyarakat Tengger bukanlah suatu "museum hidup" atau pun museum yang berjalan, melainkan masyarakat yang berkembang dengan adanya suatu sarana-sarana spiritual di Tengger.

Mereka tidak lagi terisolasi dalam perkembangan daerah sekitarnya, meskipun mungkin pada zaman dahulu pernah terjadi seperti itu, ketika pusat orentasinya adalah ibukota Majapahit, atau pusata kerajaan mana pun pada masa lalu, yang tiba-tiba menghilang.
 
Masyarakat Tengger sekarang mengenali kembali kesaan sumber dengan para sengguhu  di Bali adalah suatu hal yang sangat wajar, dan mungkin dapat dikembangkan kedalam eksplorasi yang lebih meluas dan mendalam.

Sebuah perjalanan wisata yang mengesankan di dapat dari masyarkat Tengger. Kesederhanaan, kesungguhan, dan kebahagian hidup masyarakat serta bergotong royong merupakan suatu pemeilharaan ras Jawa lama yang bersifat baik hati, bersahabat, ramah kepada setiap tamu, tenang dan mulia merupakan suatu sifat yang langka dan unik serta tidak dapat dengan mudah  kita temui dalam kehidupan di kota-kota besar dan dibelahan bumi mana pun kecuali Indonesia. Tengger merupakan suatu pembelajaran hidup bagi penulis yang tidak ternilai dengan sesuatu apapun.

SEJARAH

Menurut mitos atau legenda yang berkembang di masyarakat suku Tengger, mereka berasal dari keturunan Roro Anteng yang merupakan putri dari Raja Brawijaya dengan Joko Seger putra seorang Brahmana. Nama suku Tengger diambil dari akhiran nama kedua pasang suami istri itu yaitu, “Teng” dari Roro Anteng dan “Ger” dari Joko Seger. Legenda tentang Roro Anteng dan Joko Seger yang berjanji pada Dewa untuk menyerahkan putra bungsu mereka, Raden Kusuma merupakan awal mula terjadinya upacara Kasodo di Tengger.
Menurut beberapa ahli sejarah, suku Tengger merupakan penduduk asli orang Jawa yang pada saat itu hidup pada masa kejayaan Majapahit. Saat masuknya Islam di Indonesia (pulau Jawa) saat itu terjadi persinggungan antara Islam dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa, salah satunya adalah Majapahit yang merasa terdesak dengan kedatangan pengaruh Islam, kemudian melarikan diri ke wilayah Bali dan pedalaman di sekitar Gunung Bromo dan Semeru. Mereka yang berdiam di sekitar pedalaman Gunung Bromo ini kemudian mendirikan kampung yang namanya diambil dari akhiran nama pemimpin mereka yaitu Roro Anteng dan Joko Seger.



DESKRIPSI LOKASI
Suku bangsa Tengger berdiam disekitar kawasan di pedalaman gunung Bromo yang terletak di kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Berdasarkan persebaran bahasa dan pola kehidupan sosial masyarakat, daerah persebaran suku Tengger adalah disekitar Probolinggo, Lumajang, (Ranupane kecamatan Senduro), Malang (desa Ngadas kecamatan Poncokusumo), dan Pasuruan. Sementara pusat kebudayaan aslinya adalah di sekitar pedalaman kaki gunung Bromo.

UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN

1. BAHASA
Bahasa yang berkembang di masyarakat suku Tengger adalah bahasa Jawa Tengger yaitu bahasa Jawi kuno yang diyakini sebagai dialek asli orang-orang Majapahit. Bahasa yang digunakan dalam kitab-kitab mantra pun menggunakan tulisan Jawa Kawi. Suku Tengger merupakan salah satu sub kelompok orang Jawa yang mengembangkan variasai budaya yang khas. Kekhasan ini bisa dilihat dari bahasanya, dimana mereka menggunakan bahasa Jawa dialek tengger, tanpa tingkatan bahasa sebagaimana yang ada pada tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa pada umumnya.

2. PENGETAHUAN
Pendidikan pada masyarakat Tengger sudah mulai terlihat dan maju dengan dibangunnya sekolah-sekolah, baik tingkat dasar maupun menengah disekitar kawasan Tengger. Sumber pengetahuan lain adalah mengenai penggunaan mantra-mantra tertentu oleh masyarakat Tengger.

3. TEKNOLOGI
Dalam kehidupan suku Tengger, sudah mengalami teknologi komunikasi yang dibawa oleh wisatawan-wisatawan domestik maupun mancanegara sehingga cenderung menimbulkan perubahan kebudayaan. Suku Tengger tidak seperti suku-suku lain karena masyarakat Tengger tidak memiliki istana, pustaka, maupun kekayaan seni budaya tradisional. Tetapi suku Tengger sendiri juga memiliki beberapa obyek penting yaitu lonceng perungggu dan sebuah padasan di lereng bagian utara Tengger yang telah menjadi puing.

4. RELIGI
Mayoritas masyarakat Tengger memeluk agama Hindu, namun agama Hindu yang dianut berbeda dengan agama Hindu di Bali, yaitu Hindu Dharma. Hindu yang berkembang di masyarakat Tengger adalah Hindu Mahayana. Selain agama Hindu, agama laiin yang dipeluk adalah agama Islam, Protestan, Kristen, dll. Berdasarkan ajaran agama Hindu yang dianut, setiap tahun mereka melakukan upacara Kasono. Selain Kasodo, upacara lain yaitu upacara Karo, Kapat, Kapitu, Kawulo, Kasanga. Sesaji dan mantra amat kental pengaruhnya dalam masyarakat suku Tengger. Masyarakat Tengger percaya bahwa mantra-mantra yang mereka pergunakan adalah mantra-mantra putih bukan mantra hitam yang sifatnya merugikan.

5. ORGANISASI SOSIAL
PERKAWINAN. Sebelum ada Undang-Undang perkawinan banyak anak-anak suku Tengger yang kawin dalam usia belia, misalnya pada usia 10-14 tahun. Namun, pada masa sekarang hal tersebut sudah banyak berkurang dan pola perkawinannya endogami. Adat perkawinan yang diterapkan oleh siuku Tengger tidak berbeda jauh dengan adat perkawinan orang Jawa hanya saja yang bertindak sebagai penghulu dan wali keluarga adalah dukun Pandita. Adat menetap setelah menikah adalah neolokal, yaitu pasangan suami-istri bertempat tinggal di lingkungan yang baru. Untuk sementara pasangan pengantin berdiam terlebih dahulu dilingkungan kerabat istri.
SISTEM KEKERABATAN.
Seperti orang Jawa lainnya, orang Tengger menarik garis keturunan berdasarkan prinsip bilateral yaitu garis keturunan pihak ayah dan ibu. Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak.
SISTEM KEMASYARAKATAN.
Masyarakat suku Tengger terdiri atas kelompok-kelompok desa yang masing-masing kelompok tersebut dipimpin oleh tetua. Dan seluruh perkampungan ini dipimpin oleh seorang kepala adat. Masyarakat suku Tengger amat percaya dan menghormati dukun di wilayah mereka dibandingkan pejabat administratif karena dukun sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Tengger. Masyarakat Tengger mengangkat masyarakat lain dari luar masyarakat Tengger sebagai warga kehormatan dan tidak semuanya bisa menjadi warga kehormatan di masyarakat Tengger. Masyarakat muslim Tengger biasanya tinggal di desa-desa yang agak bawah sedangkan Hindu Tengger tinggal didesa-desa yang ada di atasnya.

6. MATA PENCAHARIAN
Pada masa kini masyarakat Tengger umumnya hidup sebagai petani di ladang. Prinsip mereka adalah tidak mau menjual tanah (ladang) mereka pada orang lain. Macam hasil pertaniannya adalah kentang, kubis, wortel, tembakau, dan jagung. Jagung adalah makanan pokok suku Tengger. Selain bertani, ada sebagian masyarakat Tengger yang berprofesi menjadi pemandu wisatawan di Bromo. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan menawarkan kuda yang mereka miliki untuk disewakan kepada wisatawan.

7. KESENIAN
Tarian khas suku Tengger adalah tari sodoran yang ditampilkan pada perayaan Karo dan Kasodo. Dari segi kebudayaan, masyarakat Tengger banyak terpengaruh dengan budaya pertanian dan pegunungan yang kental meskipun sebagian besar budaya mereka serupa dengan masyarakat Jawa umumnya, namun ada pantangan untuk memainkan wayang kulit.


NILAI-NILAI BUDAYA

Orang Tengger sangat dihormati oleh masyarakat Tengger karena mereka selalu hidup rukun, sederahana, dan jujur serta cinta damai. Orang Tenggr suka bekerja keras, ramah, dan takut berbuat jahat seperti mencuri karena mereka dibayangi adanya hukum karma apabila mencuri barang orang lain maka akan datang balasan yaitu hartanya akan hilang lebih banyak lagi. Orang Tengger dangat menghormati Dukun dan Tetua adat mereka.

ASPEK PEMBANGUNAN

Aspek pembangunan yang terlihat adalah pada sektor pariwisata misalnya dengan pembangunan-pembanguna akses-akses menuju gunung Bromo agar lebih mudah dijangkau oleh wisatawan. Desa Tosari merupakan salah satu pintu gerbang daerah Tengger, desa ini memanjang dari utara sampai selatan. Di tengah desa itu terdapat pasar dan tempat-tempat ibadah seperti masjid bagi umat Islam dan pura bagi umat Hindu. Selain itu terdapat pula kantor kelurahan, kantor kecamatan, dan koramil, kantor PKK, sekolah dasar, madrasah, taman-kanak-kanak, pos kesehatan, dan taman gizi serta puskesmas. Jadi desa-desa yang ada di wilayah Tengger sudah cukup maju.
Read More